WACANA KRITIS MODEL FAIRCLOUGH
A. Karakteristik Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor
penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan
dalam masyarakat terjadi. Mengutip Fairclough dan Wodak (Badara, 2012:29)
Konteks
Analisis
wacana kritis mempertimbangkan konteks wacana, seperti latar, situasi,
peristiwa, dan kondisi. Wacana dalam hal ini diproduksi, dimengerti, dan
dianalisis pada suatu konteks tertentu. Merujuk pada pandangan Cook (Badara,
2012:30), analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang
mengomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan
situasi apa; melalui medium apa; bagaimana
perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap
masing-masing. Studi mengenai bahasa di sini memasukkan konteks, karena bahasa
selalu berada dalam konteks dan tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan,
interteks, situasi, dan sebagainya. Meskipun demikian, tidak semua konteks
dimasukkan dalam analisis, hanya yang relevan dan berpengaruh atas produksi dan
penafsiran teks yang dimasukkan ke dalam analisis.
Histori
Menempatkan
wacana dalam konteks sosial tertentu berarti wacana diproduksi dalam konteks
tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang
menyertainya. Salah satu aspek yang penting untuk bisa mengerti suatu teks
ialah dnegan menempatkan wacana tersebut dalam konteks historis tertentu.
Misalnya, kita melakukan analisis wacana teks selebaran mahasiswa yang
menentang Suharto. Pemahaman mengenai wacana teks tersebut hanya dapat
diperoleh apabila kita dapat memberikan konteks historis di mana teks tersebut
dibuat; misalnya, situasi sosial politik, suasana pada saat itu.
Kekuasaan
Di
dalam analisis wacana kritis juga dipertimbangkan elemen kekuasaan di dalam
analisisnya. Setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan atau apa
pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi
merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu
kunci hubungan antara wacana dan masyarakat. Misalnya, kekuasaan laki-laki
dalam wacana mengenai seksisme atau kekuasaan perusahaan yang berbentuk
dominasi pengusaha kelas atas kepada bawahan.
Ideologi
Ideologi
memiliki dua pengertian yang bertolak belakang. Secara positif, ideologi
dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia yang menyatakan nilai kelompok sosial
tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Adapun
secara negatif, ideologi dilihat sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu suatu
kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan pemahaman orang
mengenai realitas sosial. Sebuah teks tidak pernah lepas dari ideologi dan
memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi.
B. Analisis Wacana Kritis (AWK) Model Norman Fairclough
Norman Fairclough (Badara, 2012:26) mengemukakan
bahwa wacana merupakan sebuah praktik sosial dan membagi analisis wacana ke
dalam tiga dimensi yaitu text, discourse
practice, dan sosial practice. Text berhubungan dengan linguistik,
misalnya dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat, juga koherensi
dan kohesivitas, serta bagaimana antarsatuan tersebut membentuk suatu
pengetian. Discourse practice
merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks;
misalnya, pola kerja, bagan kerja, dan rutinitas saat menghasilkan berita. Social practice, dimensi yang
berhubungan dengan konteks di luar teks; misalnya konteks situasi atau konteks
dari media dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya politik tertentu.
Berdasarkan hal di atas, maka dirumuskanlah suatu
pengertian analisis wacana yang bersifat kritis yaitu suatu pengkajian secara
mendalam yang berusaha mengungkapkan kegiatan, pandangan, dan identitas
berdasarkan bahasa yang digunakan dalam wacana. Analisis wacana menggunakan
pendekatan kritis memperlihatkan ketepaduan: (a) analisis teks; (b) analisis
proses, produksi, konsumsi, dan distribusi teks; serta (c) analisis
sosiokultural yang berkembang di sekitar wacana itu.
Pendekatan Fairclough dalam menganalisa teks
berusaha menyatukan tiga tradisi yaitu (Jorgensen dan Phillips, 2007:124):
a.
Analisis tekstual yang terinci di bidang linguistik;
b.
Analisis makro-sosiologis praktik sosial (termasuk
teori Fairclough, yang tidak menyediakan metodologi untuk teks-teks khusus);
c.
Tradisi interpretatif dan mikro-sosiologis dalam
sosiologi (termasuk etnometodologi dan analisa percakapan) dimana kehidupan
sehari-hari diperlakukan sebagai produk tindakan seseorang. Tindakan tersebut
mengikuti sederet prosedur dan “kaidah akal sehat”.
Model Norman
Fairclough (Eriyanto, 2001: 286) membagi analisis wacana kritis ke dalam tiga
dimensi, yakni:
1. Dimensi Tekstual (Mikrostruktural)
Setiap teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu
representasi, relasi, dan identitas. Fungsi representasi berkaitan dengan
cara-cara yang dilakukan untuk menampilkan realitas sosial ke dalam bentuk
teks. Analisis dimensi teks meliputi bentuk-bentuk tradisional analisis linguistik
– analisis kosa kata dan semantik, tata bahasa kalimat dan unit-unit lebih
kecil, dan sistem suara (fonologi) dan sistem tulisan. Fairclough menadai pada
semua itu sebagai ‘analisis linguistik’, walaupun hal itu menggunakan istilah
dalam pandangan yang diperluas. Ada beberapa bentuk atau sifat teks yang dapat
dianalisis dalam membongkar makna melalui dimensi tekstual, diantaranya:
a.
Kohesi dan Koherensi
Analisis ini ditujukan untuk menunjukkan cara klausa dibentuk
hingga menjadi kalimat, dan cara kalimat dibentuk hingga membentuk satuan yang
lebih besar. Jalinan dalam analisis ini dapat dilihat melalui penggunaan leksikal, pengulangan kata (repetisi),
sinonim, antonim, kata ganti, kata hubung, dan lain-lain.
b.
Tata Bahasa
Analisis tata bahasa merupakan bagian yang sangat penting dalam
analisis wacana kritis. Analisis tata bahasa dalam analisis kritis lebih
ditekankan pada sudut klausa yang terdapat dalam wacana. Klausa ini dianalisis
dari sudut ketransitifan, tema, dan modalitasnya. Ketransitifan dianalisis
untuk mengetahui penggunaan verba yang mengonstruksi klausa apakah klausa aktif
atau klausa pasif, dan bagaimana signifikasinya jika menggunakan nominalisasi.
Penggunaan klausa aktif, pasif, atau nominalisasi ini berdampak pada pelaku,
penegasan sebab, atau alasan-alasan pertanggungjawaban dan lainnya. Contoh
penggunaan klausa aktif senantiasa menempatkan pelaku utama/subjek sebagai tema
di awal klausa. Sementara itu, penempatan klausa pasif dihilangkan. Pemanfaatan
bentuk nominalisasi juga mampu membiaskan baik pelaku maupun korban, bahkan
keduanya.
Tema merupakan analisis terhadap tema yang tertujuan untuk
melihat strkutur tematik suatu teks. Dalam analisis ini dianalisis tema apa
yang kerap muncul dan latar belakang kemunculannya. Representasi ini
berhubungan dengan bagian mana dalam kalimat yang lebih menonjil dibandingkan
dengan bagian yang lain. Sedangkan modalitas digunakan untuk menunjukkan
pengetahuan atau level kuasa suatu ujaran. Fairclough melihat modalitas sebagai
pembentuk hubungan sosial yang mampu menafsirkan sikap dan kuasa. Contoh:
penggunaan modalitas pada wacana kepemimpinan pada umumnya akan didapati
mayoritas modalitas yang memiliki makna perintah dan permintaan seperti
modalitas mesti, harus, perlu, hendaklah,
dan lain-lain.
c.
Diksi
Analisis
yang dilakukan terhadap kata-kata kunci yang dipilih dan digunakan dalam teks.
Selain itu dilihat juga metafora yang digunakan dalam teks tersebut. Pilihan
kosakata yang dipaaki terutama berhubungan dengan bagaimana peristiwa,
seseorang, kelompok, atau kegiatan tertentu dalam satu set tertentu. Kosakata
ini akan sangat menentukan karena berhubungan dengan pertanyaan bagaimana realitas
ditandakan dalam bahasa dan bagaimana bahasa pada akhirnya mengonstruksi
realitas tertentu. Misalnya pemilihan penggunaan kata untuk miskin, tidak mampu, kurang mampu, marjinal,
terpinggirkan, tertindas, dan lain-lain.
2. Dimensi Kewacanan (Mesostruktural)
Dimensi kedua yang
dalam kerangka analisis wacana kritis Norman Fairclough ialah dimensi kewacanaan
(discourse practice). Dalam analisis dimensi ini, penafsiran dilakukan
terhadap pemrosesan wacana yang meliputi aspek penghasilan, penyebaran, dan
penggunaan teks. Beberapa dari aspek-aspek itu memiliki karakter yang lebih
institusi, sedangkan yang lain berupa proses-proses penggunaan dan penyebaran
wacana. Berkenaan dengan proses-proses institusional, Fairclough merujuk
rutinitas institusi seperti prosedur-prosedur editor yang dilibatkan dalam
penghasilan teks-teks media. Praktik wacana meliputi cara-cara para
pekerja media memproduksi teks. Hal ini berkaitan dengan wartawan itu sendiri
selaku pribadi; sifat jaringan kerja wartawan dengan sesama pekerja media
lainnya; pola kerja media sebagai institusi, seperti cara meliput berita,
menulis berita, sampai menjadi berita di dalam media. Fairclough
mengemukakan bahwa analisis kewacananan berfungsi untuk mengetahui proses
produksi, penyebaran, dan penggunaan teks. Dengan demikian, ketiga tahapan
tersebut mesti dilakukan dalam menganalisis dimensi kewacanan.
a. Produksi Teks
Pada tahap ini dianalisis
pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi teks itu sendiri (siapa yang
memproduksi teks). Analisis dilakukan terhadap pihak pada level terkecil hingga
bahkan dapat juga pada level kelembagaan pemilik modal. Contoh pada kasus
wacana media perlu dilakukan analisis yang mendalam mengenai organisasi media
itu sendiri (latar belakang wartawan redaktur, pimpinan media, pemilik modal,
dll). Hal ini mengingat kerja redaksi adalah kerja kolektif yang tiap bagian
memiliki kepentingan dan organisasi yang berbeda-beda sehingga teks berita yang
muncul sesungguhnya tidak lahir dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil
negosiasi dalam ruang redaksi.
b. Penyebaran Teks
Pada tahap ini dianalisis bagaimana
dan media apa yang digunakan dalam penyebaran teks yang diproduksi sebelumnya.
Apakah menggunakan media cetak atau elektronik, apakah media cetak koran, dan
lain-lain. Perbedaan ini perlu dikaji karena memberikan dampak yang berbeda
pada efek wacana itu sendiri mengingat setiap media memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Contoh: pada kasus wacana media wacana yang
disebarkan melalui televisi dan koran memberi efek/dampak yang berbeda terhadap
kekuatan teks itu sendiri. Televisi
melengkapi dirinya dengan gambar dan suara, namun memiliki keterbatasan waktu.
Sementara itu koran tidak memiliki kekuatan gambar dan suara, tapi memiliki
kekekalan waktu yang lebih baik dibandingkan televisi.
c. Konsumsi Teks
Dianalisis pihak-pihak yang menjadi
sasaran penerima/pengonsumsi teks. Contoh pada kasus wacana media perlu
dilakukan analisis yang mendalam mengenai siapa saja pengonsumsi media itu
sendiri. setiap media pada umumnya telah menentukan “pangsa pasar”nya
masing-masing.
3. Dimensi Praktis Sosial-Budaya (Makrostruktural)
Dimensi ketiga adalah
analisis praktik sosiobudaya media dalam analisis wacana kritis Norman
Fairclough merupakan analisis tingkat makro yang didasarkan pada pendapat bahwa
konteks sosial yang ada di luar media sesungguhnya memengaruhi bagaimana
wacana yang ada ada dalam media. Ruang redaksi atau wartawan bukanlah bidang
atau ruang kosong yang steril, tetapi juga sangat ditentukan oleh faktor-faktor
di luar media itu sendiri. Praktik sosial-budaya menganalisis
tiga hal yaitu ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu kekuasaan
dan ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan identitas) yang
juga mempengaruhi istitusi media, dan wacananya. Pembahasan praktik sosial
budaya meliputi tiga tingkatan Tingkat situasional, berkaitan dengan produksi
dan konteks situasinya Tingkat institusional, berkaitan dengan pengaruh
institusi secara internal maupun eksternal. Tingkat sosial, berkaitan dengan
situasi yang lebih makro, seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem
budaya masyarakat secara keseluruhan. Tiga level analisis sosiocultural practice ini antara lain:
a. Situasional
Setiap teks yang lahir pada umumnya
lahir pada sebuah kondisi (lebih mengacu pada waktu) atau suasana khas dan
unik. Atau dengan kata lain, aspek situasional lebih melihat konteks peristiwa
yang terjadi saat berita dimuat.
b. Institusional
Level ini melihat
bagaimana persisnya sebuah pengaruh dari institusi organisasi pada praktik
ketika sebuah wacana diproduksi. Institusi ini bisa berasal dari kekuatan
institusional aparat dan pemerintah juga bisa dijadikan salah satu hal yang
mempengaruhi isi sebuah teks.
c. Sosial
Aspek sosial melihat
lebih pada aspek mikro seperti sistem ekonomi, sistem politik, atau sistem
budaya masyarakat keseluruhan. Dengan demikian, melalui analisis wacana model
ini, kita dapat mengetahui inti sebuah teks dengan membongkar teks tersebut
sampai ke hal-hal yang mendalam. Ternyata, sebuah teks pun mengandung ideologi
tertentu yang dititipkan penulisnya agar masyarakat dapat mengikuti alur
keinginan penulis teks tersebut. Namun, ketika melakukan analisis menggunakan
model ini kita pun harus berhati-hati jangan sampai apa yang kita lakukan malah
menimbulkan fitnah karena tidak berdasarkan sumber yang jelas.
C. Penerapan Analisis Wacana
Kritis Model Norman Fairclough
Analisis Mikro Pemberitaan
“Jurnalis
Meriahkan Gunungan Festival”
Dari
berbagai alat kebahasaan yang digunakan media Indonesia dalam pemberitaan “Jurnalis
Meriahkan Gunungan Festival”, terdapat tiga alat
yang menandai representasi tema dan tokoh yang terlibat dalam pemberitaan
tersebut di atas. Yaitu melalui diksi, penggunaan kalimat luas sebab akibat,
dan pemilihan sumber dalam kutipan langsung. Di bawah ini adalah analisis dari
aspek kebahasaan tersebut.
(1) Pada hari terakhir festival,
Wayang Jurnalis bakal dipentaskan sore nanti.
(2) Cerita Wahyu Cakraningrat yang
pernah dipentaskan tahun lalu akan menjadi varian tema pementasan bersama para
pengisi acara dari Aceh, Toba, Padang, Bogor, Bandung, Losari, Yogyakarta,
Surakarta, Jombang, Bali, dan Flores, serta dari Belgia, Jerman, Hongaria,
Italia, Ukraina, Meksiko, dan Amerika.
(3) Ditargetkan, sebanyak 7.500
orang akan hadir.
Contoh data (1) – (3)
menandai bahwa untuk kasus dalam konteks yang sama, Media Indonesia memilih diksi yang bermacam-macam, yaitu
diksi bakal dan akan. Kedua diksi tersebut
memiliki makna semantik yang berlainan pula. Secara sematik leksikal, makna
kata bakal yang berarti ‘sesuatu yang
akan menjadi; calon; yang akan dibuat’ sedangkan makna kata akan berarti ‘menyatakan
sesuatu yang hendak terjadi’, sehingga kata akan memiliki makna yang lebih
netral dibandingkan kata bakal, akan tetapi dalam konteks suatu kalimat dapat
memiliki arti yang hampir sama yakni ‘hendak terjadi’.
(4) Kami ingin mengapresiasi
karena para jurnalis ini perhatian dengan tradisi kita”, ungkap salah satu
konseptor Gunungan Festival, Iman Nur Adi.
(5) Mereka menampilkan kisah klasik tentang
wahyu keraton, Wahyu Cakraningrat. Barang siapa yang mendapat wahyu itu
dipastikan mendapat gelar raja.
(6) Mereka antara lain Media
Indonesia, Bisnis Indonesia, Kompas, Kabar24.com, Wanita Indonesia, Kartini,
Cosmopolitan, Inilah.com, Tembi Rumah Budaya, Hai, Esquire, Gohitzz.com,
Majalah Venue, dan Trax dengan bintang tamu Mario Kahitna.
(7) Bahkan, sebagian dari mereka yang
sudah memiliki anak juga turut mengikuti kursus tari di Wayang Bharata.
Sedangkan contoh
data (4)-(7) menandai adanya kata ganti yang digunakan dalam wacana tersebut.
Kata ganti yang digunakan antara lain kami
dan mereka. kata ganti kami pada
data (4) merujuk pada para konseptor gunungan festival. Sedangkan kata mereka
pada data (5)-(7) merujuk pada para jurnalis (media pemberitaan) yang turut
serta dalam gunungan festival.
(8) Kami ingin mengapresiasi karena
para jurnalis ini perhatian dengan tradisi kita.
Sementara itu, contoh
data (8) merupakan contoh data pemanfaatan strategi linguistik yang berupa
struktur kalimat. Kalimat luas pada data (8) di atas memiliki hubungan
sebab-akibat yang ditandai dengan konjungsi karena di awal kalimat karena setelah induk
kalimat.
(9) Sang produser, Trishi Setiayu,
mengatakan setiap jurnalis yang tergabung memberikan komitmen besar untuk hadir
latihan dan memberikan pentas terbaiknya.
Sedangkan contoh
data (9) merupakan contoh data pemanfaatan strategi linguistik yang berupa
struktur kalimat yang memiliki hubungan sederajat karena ditandai dengan
konjungsi dan yang menyatakan
kesetaraan dalam suatu kalimat.
(10) Kami ingin mengapresiasi
karena para jurnalis ini perhatian dengan tradisi kita”, ungkap salah satu
konseptor Gunungan Festival, Iman Nur Adi.
(11) Sang produser, Trishi Setiayu,
mengatakan setiap jurnalis yang tergabung memberikan komitmen besar untuk hadir
latihan dan memberikan pentas terbaiknya.
Selain itu,
dalam wacana tersebut juga menggunakan substitusi persona, yakni penggantian
kata ganti orang. Pada contoh data (10) kata salah satu konseptor Gunungan Festival merupakan substitusi persona
dari Imam Nur Adi. Kemudian pada contoh data (11) kata sang produser adalah substitusi persona dari Trishi Setiayu.
Selain aspek kebahasaan
secara struktural atau gramatikal, yang tidak kalah menariknya adalah cara Media Indonesia menyuarakan inspirasinya melalui
kutipan langsung para tokoh yang menjadi narasumber. Berdasarkan data yang
ada, secara kutipan langsung dapat diketahui bahwa Media Indonesia ingin menyuarakan bahwa wayang dapat
dimainkan oleh siapa saja yang ingin memainkannya, sehingga mengapresiasi
wayang dapat dilakukan oleh siapa pun. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan
data berikut:
(12) “Wayang Jurnalis mewakili
wayang orang dari Jakarta. Ternyata wayang bisa dimainkan siapa pun, tidak
hanya seniman. Kami ingin mengapresiasi karena para jurnalis ini perhatian
dengan tradisi kita”, ungkap salah satu konseptor Gunungan Festival, Iman Nur
Adi.
Analisis Meso Pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival”
Media Indonesia terbit pertama kali pada tanggal 19 Januari 1970
sebagai koran dengan jangkauan nasional dimana koran Media Indonesia dapat diperoleh di 33 propinsi yang
tersebar di 429 kabupaten / kotamadya di seluruh Indonesia. Direktur Utama Media Indonesia adalah Surya Paloh dan Teuku Yousli
Syah sebagai Pimpinan Redaksi.
Berdasarkan hasil survei yang dikeluarkan oleh
Mark Plus Insight menempatkan Media
Indonesia pada urutan ke-3
besar (12.22%) sebagai koran yang dibaca para eksekutif untuk mengakses berita
ekonomi dan bisnis. Readership Profile Media Indonesia adalah: 63% pria dan 37%
wanita, Usia produktif 20-49 tahun (87%), Social Economic Status A1-A2-B Class
(76%), Mayoritas pekerjaan White collars (44%), Psikografis pembaca
Media Indonesia adalah western
minded, optimist dan juga settled (Sumber: Media Indonesia online).
Visi yang diemban Harian Umum Media Indonesia adalah menjadi surat kabar
independen yang inovatif, lugas, terpercaya dan paling berpengaruh. Independen
artinya adalah menjaga sikap non-partisan, dimana karyawannya tidak menjadi
pengurus partai politik, menolak segala bentuk pemberian yang dapat
mempengaruhi objektifitas, dan mempunyai keberanian untuk bersikap beda.
Inovatif berarti terus-menerus menyempurnakan serta mengembangkan SDM (sumber
daya manusia), serta secara terus menerus mengembangkan rubrik, halaman, dan
penyempurnaan perwajahan. Lugas berarti selalu melakukan check dan re-check,
meliput berita dari dua pihak dan seimbang, serta selalu melakukan investigasi
dan pendalaman. Berpengaruh berarti dengan target bahwa Media Indonesia dibaca oleh para pengambil keputusan,
memiliki kualitas editorial yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan,
mampu membangun kemampuan antisipatif, mampu membangun network narasumber dan memiliki pemasaran /
distribusi yang handal.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa sebagai media
terbesar ketiga, Media Indonesia merupakan harian umum yang dapat
mempengaruhi opini masyarakat Indonesia dengan cukup luas. Rangkaian produksi
teks di Media Indonesia juga bukan hanya merupakan rangkaian
yang berdiri sendiri, tetapi merupakan rangkaian institusional yang
melibatkan wartawan, redaksi, editor, bahkan pemilik modal, dan lain-lain.
Realisasi teks yang dihasilkanMedia Indonesia khususnya dalam hal pemberitaan Jurnalis
Meriahkan Gunungan Festivalini juga dinilai selaras
dengan visi yang diemban yaitu, inovatif, lugas, terpercaya dan paling
berpengaruh.
Analisis Makro Pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival”
Situasi sosial budaya yang terjadi
saat pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan Fstival” ini tidak dapat
dilepaskan kontkes yang membangun
pemberitaan tersebut. Dapat diketahui bersama bahwa pada saat pemberitaan
berlangsung, tengah terselenggarakannya Gunungan Festival, yakni festival
topeng dan wayang berskala internasional, yang keempat kalinya di Bale Pare
Kota Baru Parahyangan, Padalarang, sepanjang pekan lalu, tepatnya pada 22-24
Mei 2015. Seluruh peristiwa tersebut mendapat
liputan yang luas dari berbagai media yang ada di Indonesia termasuk Media Indonesia.
Selain hal tersebut di atas, Gunungan
Festival ini merupakan langkah untuk melestarikan kebudayaan topeng dan juga
wayang yang semaki tergerus oleh modernisasi, padahal keduanya merupakan sebuah
kekayaan Indonesia yang sangat tinggi nilainya. Dalam festival kali ini akan
mengangkat wayang sebagai tema utama dimana akan mengeksplorasi secara
komprehensif, mulai dari pertunjukkan, pameran, workshop, hingga talkshow yang
masing-masing akan disampaikan oleh pakarnya.
Festival ini juga melibatkan wayang jurnalis
yang dipentaskan pada hari terakhir festival. Wayang jurnalis memilih untuk
menampilkan kisah Wahyu Cakraningrat. Barang siapa yang
mendapat wahyu itu dipastikan mendapat gelar raja. Kisah itu pun
diinterpretasikan para jurnalis sebagai cerminan situasi politik bangsa ini.
Beragam guyonan dan sindiran soal negara pun diselipkan pada naskah yang
diperankan pemimpin redaksi, managing editor, hingga reporter dari lintas
media. Mereka antara lain Media Indonesia, Bisnis Indonesia, Kompas,
Kabar24.com, Wanita Indonesia, Kartini, Cosmopolitan, Inilah.com, Tembi Rumah
Budaya, Hai, Esquire, Gohitzz.com, Majalah Venue, dan Trax dengan bintang tamu
Mario Kahitna.
Meski
tidak berkaitan secara langsung, tetapi dapat ditarik benang merah atas
pemberitaan yang dihasilkan oleh Media
Indonesia, erat kaitannya dengan eksistensi Media Indonesia dalam melestarikan warisan bangsa dengan mengikuti
festival tersebut. Ada motivasi tertentu dalam pemberitaan tersebut dalam
pencitraan Media Indonesia. Dengan
demikian, opini pembaca digiring untuk memberikan pencitraan positif pada Media Indonesia sebagai media yang aktif
dan eksis dalam kegiatan pelestarian budaya bangsa.