Senin, 18 Januari 2016

MISTERI MAKAM KERAMAT MBAH JANGAT SENGON JOMBANG



Misteri makam keramat
Mbah Jangat
Ngesong Sengon Jombang.
            Ngesong, sengon Jombang merupakan desa  yang terletak di daerah pinggiran Jombang , dimana konon dulu di desa ini merupakan daerah yang dipenuhi dengan pohon sengon, hingga pada masanya tokoh yang membabat pohon-pohon itu dan membukanya menjadi sebuah perkampungan. Pada akhirnya dinamakanlah desa inisebagai desa Sengon.
            Kondisi desa sengon, sebagaimana perkampungan pada umumnya. Penduduk yang mayoritasnya adalah beragama islam, seringkali melakukan kegiatan kegiatan dakwah pada hari besar islam. Ketika mengamati lebih dalam desa ini, ada yang menarik dan menuntun saya untuk lebih mengetahui lebih dalam.
Ada sebuah makam tua, yang letaknya ada di pinggiran desa,  hanya satu makam, di sertai pohon beringin besar, makam itu berada di balik rerimbunan kebun jati, tempatnya sedikit lembab, dan berbeda dari tempat-tempat yang lainnya. penduduk biasanya menyebut tempat itu “ Mbah Jangat” banyak cerita dalam berbagai versi yang menyebar pada masyarakat .
Ada yang menyebut” bahwa mbah jangat merupakan  tokoh masyarakat yang dulunya membuka desa sengon ini. Ada yang mengatakan pula  bahwa mbah jangat merupakan seseorang yang sangat disegani saat itu. Namun selama proses pencarian data mengenai mbah jangat ini ada tanggapan yang berbeda dari masyarakat setempat. Khususnya penduduk ngesong, ketika saya bertanya mengenai informasi sejarah makam tua kebanyakan orang yang saya tanya, merespon dengan cara yang sama. Ekspresi kaget, takut, khawatir, jelas sekali Nampak di setiap wajah mereka, tiap kali saya bertanya mengenai makam mbah jangat. Semuanya seperti sengaja bungkam.
Hanya menjawab dengan gugup, berusaha memalingkan wajah seraya berkata” Wah ndak tahu mbak, beneran ndak tahu” dari sini  saya semakin bertanya-tanya apa dan siapa sesungguhnya gerangan, apakah pernah terjadi sesuatu pada desa ini dengan makam tua itu?. Entahlah, akhirnya saya disuruh kepada  seseorang yang usianya sudah tua. Pastinya tahu banyak hal, dan sekali lagi seseorang itu tidak bersedia.
Rasa penasaran yang semakin membubuh dalam diri saya membuat saya sedikit demi sedikit memantik pertanyaan pada salah satu bapak mengenai makam mbah jangat. Namun sekali lagi beliau tidak bersedia. Dengan alasan tidak tahu, meskipun asli penduduk desa ini., namun ada beberapa kata yang tiba-tiba meluncur dari bapak itu, “ Dulu kalau orang mau nikah, biasanya memberikan beberapa seserahan ke tempat itu”  sontak saya kaget, mendengarnya seraya menanggapi bapak itu “ hoo berarti memberikan sesembahan begitu maksud bapak?” “ ya kepercayaan orang beda-beda mbak”. Ketika saya gali lagi lebih dalam bapak itu mengalihkan pembicraan dan menyuruh saya pergi ke “ Mbah Mad” salah satu sesepuh desa ini,  menurutnya mbah Mad ini mungkin tahu ihwal sejarah makam tua itu.
Malam meremang dalam gelap, terlihat rumah sederhana di samping mushola masih menyala berpendar-pendar cahaya menyebar ke seluruh teras, Nampak ada seorang kakek sudah lanjut usia duduk termenung di  beranda rumah. Seseorang  dengan wajah yang teduh seraya tersenyum sedikit terheran akan kehadiran saya dan adik saya yang mengantarkan saya menunjukkan rumah Mbah Mad. “ sopo?” “ mbah nembe nopo?” memulai dengan obrolan ringan percakapan melaju  sebagaimana mestinya. Dengan segenap kemampuan saya mencoba membuka membuka pertanyaan saya mengenai makam tua itu . “ Mbah, wonten makam tua teng sebelah kebun jati niku terose makame mbah Jangat njeh mbah?”  mendengar pertanyaan saya, wajah yang semulanya sangat hangat sontak berubah kaget tidak jauh dari ekspresi orang-orang sebelumnya yang saya jumpai. “ Heh !! mbah jangat!”  melihat responnya yang demikian membuat saya semakin bertanyap-tanya.
Ketika saya coba Tanya, beliau merespon dengan nada dingin” ndak…ndak..ndak.. ndak bisa saya ndak bisa saya” ada wajah hawatir, takut, seperi banyak cerita yang bertumpah ruah di garis matanya.  “ Makam itu keramat, ndak bisa saya,ndak bisa, banyak yang datang ke makam itu, banyak, dari mojo agung, dll.  Tapi bukan dari penduduk sini. Haduh beneran ndak bisa saya itu semua kan urusan mereka, penduduk sini ndak mau ikut campur.”
Mendengar hal yang demikian membuat perasaan saya semakin bercampur aduk tidak karuan, penasaran juga rasa takut, melihat ekspresi Mbah Mad. Dan meluruskan cerita-cerita yang beredar di masyarakat yang mendirikan  desa sengon ini apakah benar demikian memang mbah jangat yang mendirikan?
Demikian  saya tanyakan namun mbah mad menggelengkan kepala seraya berkata “Bukan, yang mendirikan desa ini makamnya ada di dalam pondok  Darussalam, dimana letaknya di tengah tengah ds sengon. Sedikit kaget mendengarnya. Pertanyaan saya lalu siapakah mbah jangat ini? Kenapa makamnya di sendirikan,? Dan kenapa mbah Mad menyebutnya keramat? . Perasaan yang semakin kalut membuat saya terdiam sesaat. Di sebelah makam itu dulu ada sebuah beringin yang sangat besar, sangaaat besar,  ada seorang yang nakal dari penduduk sini datang  ke tempat itu memanjat pohon itu, lalu membakarnya, tiba-tiba ada dahan beringin yang begitu besar bisa roboh  padahal tidak ditebang. Setelah itu sungai yang  membelah desa ini ada banyak sekali ularnya. “ . Tiba-tiba cerita itu  terhenti dan sekali lagi Mbah Mad berkata “ Ndak bisa mbak ndak bisa,.. hawane panas ndak bisa” ada raut ketakutan yang terlihat dari Mbah Mad. Darinya saya sudah tidak berani menggali lebih dalam. Meskipun rasa penasaran itu semakin bertubi-tubi tapi saya pendam dalam-dalam. Saya pamit pulang. Mati-matian berpikir sepanjang jalan, mencoba menerjemahkan semua yang saya terima hari ini.
Keramat, banyak yang bungkam dan banyak hal masih mengganjal.  Setiap anak kecil yang hidup di desa ini  selalu takut ketika mendengar nama makam tua ini. Cerita yang mengalir pada masyarakat juga banyak dalam berbagai macam versi. Jika ada beberapa sumber dari kaum muda, kebanyakan mengetahui tempat ini sebagai tempat “ ngalap berkah” atau mencari keberuntungan, banyak yang datang yang justru dari luar kota. Namun akan kebenarannya hingga saat ini masih menjadi bahan pertanyaan bagi kebanyakan orang. Makam penuh misteri dan teka-teki.
Tamat


by: Ana Niastutri  
Nb: Sumber cerita dip[eroleh dari mbah Mad salah satu sesepuh desa Senghon

Sabtu, 13 Juni 2015

Senja Ber-Tuan

Resume wacana kritis



WACANA KRITIS MODEL FAIRCLOUGH

A.  Karakteristik Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat terjadi. Mengutip Fairclough dan Wodak (Badara, 2012:29)
 Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana dalam hal ini diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Merujuk pada pandangan Cook (Badara, 2012:30), analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing. Studi mengenai bahasa di sini memasukkan konteks, karena bahasa selalu berada dalam konteks dan tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, interteks, situasi, dan sebagainya. Meskipun demikian, tidak semua konteks dimasukkan dalam analisis, hanya yang relevan dan berpengaruh atas produksi dan penafsiran teks yang dimasukkan ke dalam analisis.
Histori
Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu berarti wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek yang penting untuk bisa mengerti suatu teks ialah dnegan menempatkan wacana tersebut dalam konteks historis tertentu. Misalnya, kita melakukan analisis wacana teks selebaran mahasiswa yang menentang Suharto. Pemahaman mengenai wacana teks tersebut hanya dapat diperoleh apabila kita dapat memberikan konteks historis di mana teks tersebut dibuat; misalnya, situasi sosial politik, suasana pada saat itu.
Kekuasaan
Di dalam analisis wacana kritis juga dipertimbangkan elemen kekuasaan di dalam analisisnya. Setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan masyarakat. Misalnya, kekuasaan laki-laki dalam wacana mengenai seksisme atau kekuasaan perusahaan yang berbentuk dominasi pengusaha kelas atas kepada bawahan.
Ideologi
Ideologi memiliki dua pengertian yang bertolak belakang. Secara positif, ideologi dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia yang menyatakan nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Adapun secara negatif, ideologi dilihat sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial. Sebuah teks tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi.

B.  Analisis Wacana Kritis (AWK) Model Norman Fairclough
Norman Fairclough (Badara, 2012:26) mengemukakan bahwa wacana merupakan sebuah praktik sosial dan membagi analisis wacana ke dalam tiga dimensi yaitu text, discourse practice, dan sosial practice. Text berhubungan dengan linguistik, misalnya dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat, juga koherensi dan kohesivitas, serta bagaimana antarsatuan tersebut membentuk suatu pengetian. Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks; misalnya, pola kerja, bagan kerja, dan rutinitas saat menghasilkan berita. Social practice, dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks; misalnya konteks situasi atau konteks dari media dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya politik tertentu.
Berdasarkan hal di atas, maka dirumuskanlah suatu pengertian analisis wacana yang bersifat kritis yaitu suatu pengkajian secara mendalam yang berusaha mengungkapkan kegiatan, pandangan, dan identitas berdasarkan bahasa yang digunakan dalam wacana. Analisis wacana menggunakan pendekatan kritis memperlihatkan ketepaduan: (a) analisis teks; (b) analisis proses, produksi, konsumsi, dan distribusi teks; serta (c) analisis sosiokultural yang berkembang di sekitar wacana itu.
Pendekatan Fairclough dalam menganalisa teks berusaha menyatukan tiga tradisi yaitu (Jorgensen dan Phillips, 2007:124):
a.       Analisis tekstual yang terinci di bidang linguistik;
b.      Analisis makro-sosiologis praktik sosial (termasuk teori Fairclough, yang tidak menyediakan metodologi untuk teks-teks khusus);
c.       Tradisi interpretatif dan mikro-sosiologis dalam sosiologi (termasuk etnometodologi dan analisa percakapan) dimana kehidupan sehari-hari diperlakukan sebagai produk tindakan seseorang. Tindakan tersebut mengikuti sederet prosedur dan “kaidah akal sehat”.
Model Norman Fairclough (Eriyanto, 2001: 286) membagi analisis wacana kritis ke dalam tiga dimensi, yakni:
1.    Dimensi Tekstual (Mikrostruktural)
Setiap teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu representasi, relasi, dan identitas. Fungsi representasi berkaitan dengan cara-cara yang dilakukan untuk menampilkan realitas sosial ke dalam bentuk teks. Analisis dimensi teks meliputi bentuk-bentuk tradisional analisis lingu­istik – analisis kosa kata dan semantik, tata bahasa kalimat dan unit-unit lebih kecil, dan sistem suara (fonologi) dan sistem tulisan. Fair­clough menadai pada semua itu sebagai ‘analisis linguistik’, walaupun hal itu menggunakan istilah dalam pandangan yang diperluas. Ada beberapa bentuk atau sifat teks yang dapat dianalisis dalam membongkar makna melalui dimensi tekstual, diantaranya:
a.       Kohesi dan Koherensi
Analisis ini ditujukan untuk menunjukkan cara klausa dibentuk hingga menjadi kalimat, dan cara kalimat dibentuk hingga membentuk satuan yang lebih besar. Jalinan dalam analisis ini dapat dilihat melalui penggunaan leksikal, pengulangan kata (repetisi), sinonim, antonim, kata ganti, kata hubung, dan lain-lain.
b.      Tata Bahasa
Analisis tata bahasa merupakan bagian yang sangat penting dalam analisis wacana kritis. Analisis tata bahasa dalam analisis kritis lebih ditekankan pada sudut klausa yang terdapat dalam wacana. Klausa ini dianalisis dari sudut ketransitifan, tema, dan modalitasnya. Ketransitifan dianalisis untuk mengetahui penggunaan verba yang mengonstruksi klausa apakah klausa aktif atau klausa pasif, dan bagaimana signifikasinya jika menggunakan nominalisasi. Penggunaan klausa aktif, pasif, atau nominalisasi ini berdampak pada pelaku, penegasan sebab, atau alasan-alasan pertanggungjawaban dan lainnya. Contoh penggunaan klausa aktif senantiasa menempatkan pelaku utama/subjek sebagai tema di awal klausa. Sementara itu, penempatan klausa pasif dihilangkan. Pemanfaatan bentuk nominalisasi juga mampu membiaskan baik pelaku maupun korban, bahkan keduanya.
Tema merupakan analisis terhadap tema yang tertujuan untuk melihat strkutur tematik suatu teks. Dalam analisis ini dianalisis tema apa yang kerap muncul dan latar belakang kemunculannya. Representasi ini berhubungan dengan bagian mana dalam kalimat yang lebih menonjil dibandingkan dengan bagian yang lain. Sedangkan modalitas digunakan untuk menunjukkan pengetahuan atau level kuasa suatu ujaran. Fairclough melihat modalitas sebagai pembentuk hubungan sosial yang mampu menafsirkan sikap dan kuasa. Contoh: penggunaan modalitas pada wacana kepemimpinan pada umumnya akan didapati mayoritas modalitas yang memiliki makna perintah dan permintaan seperti modalitas mesti, harus, perlu, hendaklah, dan lain-lain.
c.       Diksi
Analisis yang dilakukan terhadap kata-kata kunci yang dipilih dan digunakan dalam teks. Selain itu dilihat juga metafora yang digunakan dalam teks tersebut. Pilihan kosakata yang dipaaki terutama berhubungan dengan bagaimana peristiwa, seseorang, kelompok, atau kegiatan tertentu dalam satu set tertentu. Kosakata ini akan sangat menentukan karena berhubungan dengan pertanyaan bagaimana realitas ditandakan dalam bahasa dan bagaimana bahasa pada akhirnya mengonstruksi realitas tertentu. Misalnya pemilihan penggunaan kata untuk miskin, tidak mampu, kurang mampu, marjinal, terpinggirkan, tertindas, dan lain-lain.

2.    Dimensi Kewacanan (Mesostruktural)
Dimensi kedua yang dalam kerangka analisis wacana kritis Norman Fairclough ialah dimensi ke­wacanaan (discourse practice). Dalam analisis dimensi ini, penafsiran dilakukan terhadap pe­mrosesan wacana yang meliputi aspek peng­hasilan, penyebaran, dan penggunaan teks. Be­berapa dari aspek-aspek itu memiliki karakter yang lebih institusi, sedangkan yang lain berupa proses-proses penggunaan dan pe­nyebaran wacana. Berkenaan dengan proses-proses insti­tusional, Fairclough merujuk rutini­tas institusi seperti prosedur-prosedur editor yang dilibat­kan dalam penghasilan teks-teks media. Praktik wacana meliputi cara-cara para pekerja media memproduksi teks. Hal ini berkaitan dengan wartawan itu sendiri selaku pribadi; sifat jaringan kerja wartawan dengan sesama pekerja media lainnya; pola kerja media sebagai institusi, seperti cara meliput berita, menulis berita, sampai menjadi berita di dalam media. Fairclough mengemukakan bahwa analisis kewacananan berfungsi untuk mengetahui proses produksi, penyebaran, dan penggunaan teks. Dengan demikian, ketiga tahapan tersebut mesti dilakukan dalam menganalisis dimensi kewacanan.
a.       Produksi Teks
Pada tahap ini dianalisis pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi teks itu sendiri (siapa yang memproduksi teks). Analisis dilakukan terhadap pihak pada level terkecil hingga bahkan dapat juga pada level kelembagaan pemilik modal. Contoh pada kasus wacana media perlu dilakukan analisis yang mendalam mengenai organisasi media itu sendiri (latar belakang wartawan redaktur, pimpinan media, pemilik modal, dll). Hal ini mengingat kerja redaksi adalah kerja kolektif yang tiap bagian memiliki kepentingan dan organisasi yang berbeda-beda sehingga teks berita yang muncul sesungguhnya tidak lahir dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil negosiasi dalam ruang redaksi.
b.      Penyebaran Teks
Pada tahap ini dianalisis bagaimana dan media apa yang digunakan dalam penyebaran teks yang diproduksi sebelumnya. Apakah menggunakan media cetak atau elektronik, apakah media cetak koran, dan lain-lain. Perbedaan ini perlu dikaji karena memberikan dampak yang berbeda pada efek wacana itu sendiri mengingat setiap media memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Contoh: pada kasus wacana media wacana yang disebarkan melalui televisi dan koran memberi efek/dampak yang berbeda terhadap kekuatan teks itu  sendiri. Televisi melengkapi dirinya dengan gambar dan suara, namun memiliki keterbatasan waktu. Sementara itu koran tidak memiliki kekuatan gambar dan suara, tapi memiliki kekekalan waktu yang lebih baik dibandingkan televisi.
c.       Konsumsi Teks
Dianalisis pihak-pihak yang menjadi sasaran penerima/pengonsumsi teks. Contoh pada kasus wacana media perlu dilakukan analisis yang mendalam mengenai siapa saja pengonsumsi media itu sendiri. setiap media pada umumnya telah menentukan “pangsa pasar”nya masing-masing.
3.    Dimensi Praktis Sosial-Budaya (Makrostruktural)
Dimensi ketiga adalah analisis praktik sosio­budaya media dalam analisis wacana kritis Norman Fairclough merupakan analisis tingkat makro yang didasarkan pada pendapat bahwa konteks sosial yang ada di luar media se­sungguhnya memengaruhi bagaimana wacana yang ada ada dalam media. Ruang redaksi atau wartawan bukanlah bidang atau ruang kosong yang steril, tetapi juga sangat ditentukan oleh faktor-faktor di luar media itu sendiri. Praktik sosial-budaya menganalisis tiga hal yaitu ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu kekuasaan dan ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan identitas) yang juga mempengaruhi istitusi media, dan wacananya. Pembahasan praktik sosial budaya meliputi tiga tingkatan Tingkat situasional, berkaitan dengan produksi dan konteks situasinya Tingkat institusional, berkaitan dengan pengaruh institusi secara internal maupun eksternal. Tingkat sosial, berkaitan dengan situasi yang lebih makro, seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. Tiga level analisis sosiocultural practice ini antara lain:
a.       Situasional
Setiap teks yang lahir pada umumnya lahir pada sebuah kondisi (lebih mengacu pada waktu) atau suasana khas dan unik. Atau dengan kata lain, aspek situasional lebih melihat konteks peristiwa yang terjadi saat berita dimuat.
b.      Institusional
Level ini melihat bagaimana persisnya sebuah pengaruh dari institusi organisasi pada praktik ketika sebuah wacana diproduksi. Institusi ini bisa berasal dari kekuatan institusional aparat dan pemerintah juga bisa dijadikan salah satu hal yang mempengaruhi isi sebuah teks.
c.       Sosial
Aspek sosial melihat lebih pada aspek mikro seperti sistem ekonomi, sistem politik, atau sistem budaya masyarakat keseluruhan. Dengan demikian, melalui analisis wacana model ini, kita dapat mengetahui inti sebuah teks dengan membongkar teks tersebut sampai ke hal-hal yang mendalam. Ternyata, sebuah teks pun mengandung ideologi tertentu yang dititipkan penulisnya agar masyarakat dapat mengikuti alur keinginan penulis teks tersebut. Namun, ketika melakukan analisis menggunakan model ini kita pun harus berhati-hati jangan sampai apa yang kita lakukan malah menimbulkan fitnah karena tidak berdasarkan sumber yang jelas.

C.  Penerapan Analisis Wacana Kritis Model Norman Fairclough
Analisis Mikro Pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival
Dari berbagai alat kebahasaan yang digunakan media Indonesia dalam pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival”, terdapat tiga alat yang me­nandai representasi tema dan tokoh yang ter­libat dalam pemberitaan tersebut di atas. Yaitu melalui diksi, penggunaan kalimat luas sebab akibat, dan pemilihan sumber dalam kutipan langsung. Di bawah ini adalah analisis dari aspek kebahasaan tersebut.
(1) Pada hari terakhir festival, Wayang Jurnalis bakal dipentaskan sore nanti.
(2) Cerita Wahyu Cakraningrat yang pernah dipentaskan tahun lalu akan menjadi varian tema pementasan bersama para pengisi acara dari Aceh, Toba, Padang, Bogor, Bandung, Losari, Yogyakarta, Surakarta, Jombang, Bali, dan Flores, serta dari Belgia, Jerman, Hongaria, Italia, Ukraina, Meksiko, dan Amerika.
(3) Ditargetkan, sebanyak 7.500 orang akan hadir.
Contoh data (1) – (3) menandai bahwa untuk kasus dalam konteks yang sama, Media Indo­nesia memilih diksi yang bermacam-macam, yaitu diksi bakal dan akan. Kedua diksi tersebut memiliki makna semantik yang berlainan pula. Secara sematik leksikal, makna kata bakal  yang berarti ‘sesuatu yang akan menjadi; calon; yang akan dibuat’ sedangkan makna kata akan berarti ‘menyatakan sesuatu yang hendak terjadi’, sehingga kata akan me­miliki makna yang lebih netral dibandingkan kata bakal, akan tetapi dalam konteks suatu kalimat dapat memiliki arti yang hampir sama yakni ‘hendak terjadi’.
(4) Kami ingin mengapresiasi karena para jurnalis ini perhatian dengan tradisi kita”, ungkap salah satu konseptor Gunungan Festival, Iman Nur Adi.
(5) Mereka menampilkan kisah klasik tentang wahyu keraton, Wahyu Cakraningrat. Barang siapa yang mendapat wahyu itu dipastikan mendapat gelar raja.
(6) Mereka antara lain Media Indonesia, Bisnis Indonesia, Kompas, Kabar24.com, Wanita Indonesia, Kartini, Cosmopolitan, Inilah.com, Tembi Rumah Budaya, Hai, Esquire, Gohitzz.com, Majalah Venue, dan Trax dengan bintang tamu Mario Kahitna.
(7) Bahkan, sebagian dari mereka yang sudah memiliki anak juga turut mengikuti kursus tari di Wayang Bharata.
Sedangkan contoh data (4)-(7) menandai adanya kata ganti yang digunakan dalam wacana tersebut. Kata ganti yang digunakan antara lain kami dan mereka. kata ganti kami pada data (4) merujuk pada para konseptor gunungan festival. Sedangkan kata mereka pada data (5)-(7) merujuk pada para jurnalis (media pemberitaan) yang turut serta dalam gunungan festival.
(8) Kami ingin mengapresiasi karena para jurnalis ini perhatian dengan tradisi kita.
Sementara itu, contoh data (8) me­rupakan contoh data pemanfaatan strategi lingu­istik yang berupa struktur kalimat. Kalimat luas pada data (8) di atas memiliki hubungan sebab-akibat yang ditandai dengan konjungsi karena di awal kalimat karena setelah induk kalimat.
(9) Sang produser, Trishi Setiayu, mengatakan setiap jurnalis yang tergabung memberikan komitmen besar untuk hadir latihan dan memberikan pentas terbaiknya.
Sedangkan contoh data (9) merupakan contoh data pemanfaatan strategi linguistik yang berupa struktur kalimat yang memiliki hubungan sederajat karena ditandai dengan konjungsi dan yang menyatakan kesetaraan dalam suatu kalimat.
(10) Kami ingin mengapresiasi karena para jurnalis ini perhatian dengan tradisi kita”, ungkap salah satu konseptor Gunungan Festival, Iman Nur Adi.
(11) Sang produser, Trishi Setiayu, mengatakan setiap jurnalis yang tergabung memberikan komitmen besar untuk hadir latihan dan memberikan pentas terbaiknya.
Selain itu, dalam wacana tersebut juga menggunakan substitusi persona, yakni penggantian kata ganti orang. Pada contoh data (10) kata salah satu konseptor Gunungan Festival merupakan substitusi persona dari Imam Nur Adi. Kemudian pada contoh data (11) kata sang produser adalah substitusi persona dari Trishi Setiayu.
Selain aspek kebahasaan secara struktural atau gramatikal, yang tidak kalah menariknya adalah cara Media Indonesia menyuarakan inspirasi­nya melalui kutipan langsung para tokoh yang men­jadi narasumber. Berdasarkan data yang ada, se­cara kutipan langsung dapat diketahui bahwa Media Indonesia ingin menyuarakan bahwa wayang dapat dimainkan oleh siapa saja yang ingin memainkannya, sehingga mengapresiasi wayang dapat dilakukan oleh siapa pun. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan data berikut:
(12) “Wayang Jurnalis mewakili wayang orang dari Jakarta. Ternyata wayang bisa dimainkan siapa pun, tidak hanya seniman. Kami ingin mengapresiasi karena para jurnalis ini perhatian dengan tradisi kita”, ungkap salah satu konseptor Gunungan Festival, Iman Nur Adi.

Analisis Meso Pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival
Media Indonesia terbit pertama kali pada tanggal 19 Januari 1970 sebagai koran dengan jangkau­an nasional dimana koran Media Indo­nesia dapat diperoleh di 33 propinsi yang ter­sebar di 429 kabupaten / kotamadya di seluruh Indonesia. Direk­tur Utama Media Indonesia adalah Surya Paloh dan Teuku Yousli Syah se­bagai Pimpinan Redaksi.
Berdasarkan hasil survei yang dikeluarkan oleh Mark Plus Insight menempatkan Media Indo­nesia pada urutan ke-3 besar (12.22%) sebagai koran yang dibaca para eksekutif untuk meng­akses berita ekonomi dan bisnis. Readership Profile Media Indonesia adalah: 63% pria dan 37% wanita, Usia produktif 20-49 tahun (87%), Social Economic Status A1-A2-B Class (76%), Mayoritas pekerjaan White collars (44%),  Psikografis pem­baca Media Indonesia adalah western minded, optimist dan juga settled (Sumber: Media Indo­nesia online).
Visi yang diemban Harian Umum Media Indo­nesia adalah  menjadi surat kabar independen yang inovatif, lugas, terpercaya dan paling ber­pengaruh. Independen artinya adalah menjaga sikap non-partisan, dimana karyawannya tidak menjadi pengurus partai politik, menolak segala bentuk pemberian yang dapat mempengaruhi objek­tifitas, dan mempunyai keberanian untuk bersikap beda. Inovatif berarti terus-menerus me­­nyempurnakan serta mengembangkan SDM (sumber daya manusia), serta secara terus me­nerus me­ngembangkan rubrik, halaman, dan penyempur­naan perwajahan. Lugas berarti selalu melaku­kan check dan re-check, meliput berita dari dua pihak dan seimbang, serta selalu melakukan in­vestigasi dan pendalaman. Ber­pengaruh berarti dengan target bahwa Media Indonesia dibaca oleh para pengambil keputus­an, memiliki kuali­tas editorial yang dapat mem­pengaruhi peng­ambilan keputusan, mampu membangun ke­mampuan antisipatif, mampu membangun net­work narasumber dan memiliki pemasaran / dis­tribusi yang handal.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa sebagai media terbesar ketiga, Media Indo­nesia merupakan harian umum yang dapat mempengaruhi opini masyarakat Indo­nesia dengan cukup luas. Rangkaian produksi teks di Media Indonesia juga bukan hanya merupakan rangkai­an yang berdiri sendiri, tetapi merupa­kan rang­kai­an institusional yang melibatkan wartawan, redaksi, editor, bahkan pemilik modal, dan lain-lain. Reali­sasi teks yang dihasilkanMedia Indonesia khususnya dalam hal pemberitaan Jurnalis Meriahkan Gunungan Festivalini juga dinilai selaras dengan visi yang di­emban yaitu, inovatif, lugas, terpercaya dan paling berpengaruh.
Analisis Makro Pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival
Situasi sosial budaya yang terjadi saat pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan Fstival” ini tidak dapat dilepaskan  kontkes yang membangun pemberitaan tersebut. Dapat diketahui bersama bahwa pada saat pemberitaan berlangsung, tengah terselenggarakannya Gunungan Festival, yakni festival topeng dan wayang berskala internasional, yang keempat kalinya di Bale Pare Kota Baru Parahyangan, Padalarang, sepanjang pekan lalu, tepatnya pada 22-24 Mei 2015. Seluruh peristiwa tersebut men­dapat liputan yang luas dari berbagai media yang ada di Indonesia ter­masuk Media Indonesia.
Selain hal tersebut di atas, Gunungan Festival ini merupakan langkah untuk melestarikan kebudayaan topeng dan juga wayang yang semaki tergerus oleh modernisasi, padahal keduanya merupakan sebuah kekayaan Indonesia yang sangat tinggi nilainya. Dalam festival kali ini akan mengangkat wayang sebagai tema utama dimana akan mengeksplorasi secara komprehensif, mulai dari pertunjukkan, pameran, workshop, hingga talkshow yang masing-masing akan disampaikan oleh pakarnya.
 Festival ini juga melibatkan wayang jurnalis yang dipentaskan pada hari terakhir festival. Wayang jurnalis memilih untuk menampilkan kisah Wahyu Cakraningrat. Barang siapa yang mendapat wahyu itu dipastikan mendapat gelar raja. Kisah itu pun diinterpretasikan para jurnalis sebagai cerminan situasi politik bangsa ini. Beragam guyonan dan sindiran soal negara pun diselipkan pada naskah yang diperankan pemimpin redaksi, managing editor, hingga reporter dari lintas media. Mereka antara lain Media Indonesia, Bisnis Indonesia, Kompas, Kabar24.com, Wanita Indonesia, Kartini, Cosmopolitan, Inilah.com, Tembi Rumah Budaya, Hai, Esquire, Gohitzz.com, Majalah Venue, dan Trax dengan bintang tamu Mario Kahitna.
Meski tidak berkaitan secara langsung, tetapi dapat ditarik benang merah atas pemberitaan yang dihasilkan oleh Media Indonesia, erat kaitannya dengan eksistensi Media Indonesia dalam melestarikan warisan bangsa dengan mengikuti festival tersebut. Ada motivasi tertentu dalam pemberitaan tersebut dalam pencitraan Media Indonesia. Dengan demikian, opini pembaca digiring untuk memberikan pencitraan positif pada Media Indonesia sebagai media yang aktif dan eksis dalam kegiatan pelestarian budaya bangsa.